My Name is...


CCTV Solo

Senin, 21 November 2011

Gamelan ada di Amerika (Tri Hardono Diplomat Gamelan)




 
Senin, 21 November 2011 , 07:25:00
 
Tri Handono (belakang kiri) melatih Gamelan Anak-Anak TamanBudaya di Pittsburgh AS dimainkan di depan rombongan OSTW2011. (Atas) Tri Handono memeluk anaknya.Ridluwan/Jawa Pos

Bekerja di negara orang tak membuat Tri Handono PhD lupa dengan tanah air dan budaya leluhur. Pria dari Surakarta itu merintis seni musik gamelan di tanah rantau tersebut. Dia memulainya dari anaknya sendiri. Tiap kali pentas, ratusan warga Amerika antre menonton.

RIDLWAN HABIB, Pittsburgh

JIKA mata dipejamkan, mendengarkan gending dan lagu Prahu Layar yang dimainkan di rumah Tri Handono PhD benar-benar membuat seseorang tak seperti berada di Amerika. Notasinya pas, gendangannya mantap, dan ritmenya tertata apik. Padahal, pemainnya masih sangat belia. ”Ayo, yang dari Jogja ikut nembang,” ajak Tri kepada rombongan siswa Outstanding Students for The World (OSTW) Kementerian Luar Negeri yang bertamu ke rumahnya. Kediaman Tri terdiri atas dua lantai, terletak di kawasan yang cukup elite di Monroeville, 20 menit perjalanan ke sebelah utara dari pusat Kota Pittsburgh, Negara Bagian Pennsylvania.

Malam itu (14/11) Tri menggelar pentas dadakan di ruang tamu. Tiga gending dolanan anak dimainkan. Yakni, Prahu Layar, Gambang Suling, dan Suwe Ora Jamu. Penabuh saron dan demung adalah Sidney, Silvie, dan Holland Haryotomo, anak-anak Tri. Penabuh gendangnya Asih Slamet Raharjo, adik kandung Tri. ”Kami merintis gamelan ini sejak 2008. Saat itu ayah saya datang untuk menengok cucu. Lalu, kami ke toko besi dan kayu,” katanya. Rupanya, bapak Tri yang pensiunan guru tersebut jago membuat gamelan sendiri. ”Beliau juga yang mengajari cucunya sebelum pulang ke Indonesia,” ungkap Tri.

Pria kelahiran Salatiga, 11 Oktober 1965, tersebut sekarang bekerja di Westinghouse Electric Company, sebuah perusahaan pembangkit listrik terkenal di Amerika. Sebelumnya, alumnus Teknik Elektro UGM itu menempuh gelar master di Universiteit Delft (1987–1993) dan meraih gelar doktor tentang superkonduktor di University of Wollongong, Australia (2001). ”Sebelum di Westinghouse, saya kerja di BPPT. Anak pertama lahir di Belanda, anak kedua di Australia, yang ketiga dan yang bungsu lahir di sini,” tutur Tri. Istrinya, Ida Melati, asli Jakarta. Mereka menikah pada 14 Juni 1993. ”Alhamdulillah suasana di Pittsburgh sangat mendukung bagi keluarga. Pendidikan di sini juga baik,” ungkap dia.

Yakin dengan kemampuan anak-anaknya, Tri memberanikan diri membentuk grup gamelan dengan nama Taman Budaya Indonesia Pittsburgh. ”Kami promosi ke keluarga-keluarga Indonesia yang punya anak-anak. Banyak yang tertarik untuk ikut latihan,” katanya. Rupanya, grup tersebut juga menarik perhatian para tetangga yang merupakan penduduk asli Amerika Serikat (AS). ”Ketika kami pentaskan gending Indonesia, banyak orang tua murid kami yang tertarik. Mereka juga ingin berlatih,” terang dia.

Departemen Musik Universitas Pittsburgh juga mendengar adanya gamelan yang masuk kota berjuluk City of The Bridges itu. ”Kami dua kali diundang pentas di Universitas Pittsburgh. Responsnya sangat baik. Anda bisa cek dokumentasinya di YouTube,” ujar peraih award professional engineer dari Negara Bagian Maryland pada 2011 itu. Pada 2008 pula Universitas Pittsburgh membuka satu jurusan di departemen musik yang khusus mempelajari musik Asia Tenggara, terutama gamelan. ”Kami sangat bangga, gamelan jadi mata kuliah di Amerika,” ujarnya. Sejumlah seniman gamelan beberapa kali diundang ke Pittsburgh untuk menjadi dosen tamu atau sekadar berpentas beberapa hari.

”Njenengan dari Jogja ya, Mas? Berarti, juga bisa nggamel,” ujar Slamet, adik Tri, kepada Pontianak Post sembari menyorongkan gendang. Slamet ternyata sudah tidak perlu menggunakan visa di AS. Dia menyatakan mempunyai green card alias secara resmi boleh tinggal dan bekerja di AS. ”Wah, kok hebat,” balas Pontianak Post. ”Oh, ini bejo (beruntung, Red) saja, Mas, kakak saya ini menang lotre,” ujarnya sambil menepuk pundak Tri. Tri lantas bercerita soal lotre adiknya. ”Saya mendaftarkan lotre green card secara online,” ungkap dia. Data dan foto terbaru dimasukkan secara elektronik. Tidak ada biaya yang perlu dikeluarkan untuk pendaftaran tersebut.

Pendaftaran tersebut biasanya dibuka sekitar Oktober sampai November setiap tahun. Setelah beberapa bulan hingga satu tahun, Slamet mendapat kiriman surat resmi dari USCIS Department of State di Kentucky, AS, yang berisi pemberitahuan bahwa dirinya lolos seleksi pertama. Slamet lalu diminta mengisi formulir lagi, lengkap dengan data pendidikan, pengalaman kerja, dan data personal lain. Formulir itu kemudian dikirim balik ke Kentucky Processing Center. Menurut informasi, ada 100 ribu orang yang mendapat surat pertama itu dan mereka akan disaring lagi sehingga menjadi 50 ribu orang.

Sekitar setahun kemudian, Slamet mendapat surat kedua yang berisi panggilan interview di Kedutaan Besar AS di Jakarta. Setelah dia melalui interview dan tes kesehatan, visa untuk berangkat ke AS diberikan. Biaya tes kesehatan dan formulir aplikasi ditanggung sendiri. ”Saat interview, ditanyakan siapa yang menjadi sponsor selama tinggal di AS. Karena saya sudah di AS, prosesnya lancar,” ungkap Slamet. Lulusan SMA di Solo tersebut sekarang bekerja sebagai electrical technician di Inteligistics, sebuah startup company di bidang tracking system dengan teknologi radio.

Tri menyatakan sangat senang dikunjungi siswa-siswa cerdas dari Indonesia. ”Warga asal Indonesia di Pittsburgh sekitar 200 orang, rata-rata mahasiswa dan bekerja secara profesional. Kami juga mengadakan pertemuan bulanan,” terang dia. Warga Pittsburgh juga terkenal ramah dan murah hati. ”Mereka sangat care dengan tetangga. Jadi, seperti hidup di kampung sendiri,” ujarnya. (nw)